Sebenarnya saya sudah baca artikel ini dari waktu Lebaran Haji kemarin, tetapi saya belum sempat (baca: malas, red.) untuk posting ke blog, tumblr, atau facebook. Padahal menurut saya artikel ini bagus banget loh buat nambah pengetahuan, sayang saya sering malas berbagi *jangan ditiru*. Ok! Here it goes......
Artikel ini adalah tentang Australia yang menganggap Indonesia itu kejam terhadap hewan ternak, terkait cara penyembelihan hewan ternak di Indonesia yang tidak melalui proses 'pemingsanan' terlebih dahulu. (Apa bener ya kalimat yang baku dari 'dibuat pingsan' adalah 'pemingsanan'? hehee..). Ini nih artikelnya:
Australia menghentikan ekspor sapi ke Indonesia setelah beredar video
kekejaman terhadap sapi Australia. Industri sapi ternak Australia
menginginkan RPH di Indonesia memberlakukan standard World Organisation for
Animal Health (OIE) salah satunya yaitu sapi dibuat pingsan dulu sebelum
disembelih. Lebih 'berprikehewanankah' cara itu dibandingkan sapi
disembelih dalam keadaan sadar?
Berdasarkan penelusuran detikbandung, Nanung Danar Dono, S.Pt., M.P.,
Sekretaris Eksekutif LP.POM-MUI Propinsi DIY dan Dosen Fakultas Peternakan
UGM Yogyakarta, membuat makalah mengenai hal ini. Di beberapa website Islam
seperti baitul-ummah.org serta blog pribadi maupun forum komunitas,
ringkasan makalah itu yang dibuat Usman Effendi tersebar.
Disebutkan dua staf ahli peternakan dari Hannover University, sebuah
universitas terkemuka di Jerman, yaitu Prof Dr Schultz dan koleganya Dr
Hazim memimpin penelitian mengenai manakah yang lebih baik dan paling tidak
sakit, penyembelihan secara Syari’at Islam yang murni (tanpa proses
pemingsanan) ataukah penyembelihan dengan cara Barat (dengan pemingsanan)?
Keduanya merancang penelitian sangat canggih, mempergunakan sekelompok sapi yang telah cukup umur (dewasa). Pada permukaan otak kecil sapi-sapi itu dipasang elektroda (microchip) yang disebut Electro-Encephalograph (EEG). Microchip EEG dipasang di permukaan otak yang menyentuh titik (panel) rasa sakit di permukaan otak, untuk merekam dan mencatat derajat rasa sakit sapi ketika disembelih.
Di jantung sapi-sapi itu juga dipasang Electro Cardiograph (ECG) untuk merekam aktivitas jantung saat darah keluar karena disembelih. Untuk menekan kesalahan, sapi dibiarkan beradaptasi dengan EEG maupun ECG yang telah terpasang di tubuhnya selama beberapa minggu.
Setelah masa adaptasi dianggap cukup, maka separuh sapi disembelih sesuai dengan Syariat Islam yang murni, dan separuh sisanya disembelih dengan menggunakan metode pemingsanan yang diadopsi Barat.
Dalam Syariat Islam, penyembelihan dilakukan dengan menggunakan pisau yang tajam, dengan memotong tiga saluran pada leher bagian depan, yakni saluran makanan, saluran nafas serta dua saluran pembuluh darah, yaitu arteri karotis dan vena jugularis.
Selama penelitian, EEG dan ECG pada seluruh ternak sapi itu dicatat untuk
merekam dan mengetahui keadaan otak dan jantung sejak sebelum pemingsanan
(atau penyembelihan) hingga ternak itu benar-benar mati.
Dari hasil penelitian yang dilakukan dan dilaporkan oleh Prof Schultz dan
Dr Hazim di Hannover University Jerman itu dapat diperoleh kesimpulan
sebagai berikut:
Penyembelihan menurut Syariat Islam
Hasil penelitian dengan menerapkan praktik penyembelihan menurut Syariat
Islam menunjukkan:
Pertama, pada 3 detik pertama setelah ternak disembelih (dan ketiga saluran
pada leher sapi bagian depan terputus), tercatat tidak ada perubahan pada
grafik EEG. Hal ini berarti bahwa pada 3 detik pertama setelah disembelih
itu, tidak ada indikasi rasa sakit.
Kedua, pada 3 detik berikutnya, EEG pada otak kecil merekam adanya
penurunan grafik secara bertahap yang sangat mirip dengan kejadian deep
sleep (tidur nyenyak) hingga sapi-sapi itu benar-benar kehilangan
kesadaran. Pada saat tersebut, tercatat pula oleh ECG bahwa jantung mulai
meningkat aktivitasnya.
Ketiga, setelah 6 detik pertama itu, ECG pada jantung merekam adanya
aktivitas luar biasa dari jantung untuk menarik sebanyak mungkin darah dari
seluruh anggota tubuh dan memompanya keluar. Hal ini merupakan refleksi
gerakan koordinasi antara jantung dan sumsum tulang belakang (spinal cord).
Pada saat darah keluar melalui ketiga saluran yang terputus di bagian leher
tersebut, grafik EEG tidak naik, tapi justru drop (turun) sampai ke zero
level (angka nol). Hal ini diterjemahkan oleh kedua peneliti ahli itu
bahwa: "No feeling of pain at all!" (tidak ada rasa sakit sama sekali).
Keempat, karena darah tertarik dan terpompa oleh jantung keluar tubuh
secara maksimal, maka dihasilkan healthy meat (daging yang sehat) yang
layak dikonsumsi bagi manusia. Jenis daging dari hasil sembelihan semacam
ini sangat sesuai dengan prinsip Good Manufacturing Practise (GMP) yang
menghasilkan Healthy Food.
Penyembelihan dengan cara Dipingsankan
Pertama, segera setelah dilakukan proses stunning (pemingsanan), sapi
terhuyung jatuh dan roboh. Setelah itu, sapi tidak bergerak-gerak lagi,
sehingga mudah dikendalikan. Oleh karena itu, sapi dapat pula dengan mudah
disembelih tanpa meronta-ronta, dan tampaknya tanpa mengalami rasa sakit.
Pada saat disembelih, darah yang keluar hanya sedikit, tidak sebanyak bila
disembelih tanpa proses stunning (pemingsanan).
Kedua, segera setelah proses pemingsanan, tercatat adanya kenaikan yang
sangat nyata pada grafik EEG. Hal itu mengindikasikan adanya tekanan rasa
sakit yang diderita oleh ternak (karena kepalanya dipukul, sampai jatuh
pingsan).
Ketiga, grafik EEG meningkat sangat tajam dengan kombinasi grafik ECG yang
drop ke batas paling bawah. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan rasa
sakit yang luar biasa, sehingga jantung berhenti berdetak lebih awal.
Akibatnya, jantung kehilangan kemampuannya untuk menarik dari dari seluruh
organ tubuh, serta tidak lagi mampu memompanya keluar dari tubuh.
Keempat, karena darah tidak tertarik dan tidak terpompa keluar tubuh secara
maksimal, maka darah itu pun membeku di dalam urat-urat darah dan daging,
sehingga dihasilkan unhealthy meat (daging yang tidak sehat), yang dengan
demikian menjadi tidak layak untuk dikonsumsi oleh manusia.
Disebutkan dalam khazanah ilmu dan teknologi daging, bahwa timbunan darah
beku (yang tidak keluar saat ternak mati/disembelih) merupakan tempat atau
media yang sangat baik bagi tumbuh-kembangnya bakteri pembusuk, yang
merupakan agen utama merusak kualitas daging.
Hasil penelitian Prof Schultz dan Dr Hazim juga membuktikan pisau tajam
yang mengiris leher ternyata tidaklah ‘menyentuh’ saraf rasa sakit. Oleh
karenanya kedua peneliti ahli itu menyimpulkan bahwa sapi meronta-ronta dan
meregangkan otot bukanlah sebagai ekspresi rasa sakit, melainkan sebagai
ekspresi keterkejutan otot dan saraf saja yaitu pada saat darah mengalir
keluar dengan deras.
Mengapa demikian? Hal ini tentu tidak terlalu sulit untuk dijelaskan,
karena grafik EEG tidak membuktikan juga tidak menunjukkan adanya rasa
sakit itu.
Saya dapat artikel ini dari milis Alumni FKM UI. See.. sudah terbukti kan mana yang benar mana yang salah. Jadi nanti waktu Lebaran Haji, para jagal sapi engga ragu lagi dong ya buat menyembelih sapinya dengan pisau yang paling tajam. Oia, bagi yang tertarik dengan artikel ini dan ingin tahu dimana link aslinya, nih saya kasih link asli dari berita ini :
Soal Sembelih Sapi, Australia Juga Kejam
Cukup sekian sharing pengetahuan saya hari ini, nanti saya sharing lagi dengan tema yang berbeda yaaa :))
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari)
Rabu, 23 Januari 2013
MENYEMBELIH HEWAN DENGAN PISAU TAJAM TERNYATA TIDAK MENYAKITINYA
Dongengnya
diaNDra Windita
di
10:17:00 PM
Langganan:
Postingan (Atom)