Minggu, 05 Juni 2011

Cinta (Anna Althafunnisa - Ketika Cinta Bertasbih)

Sekalipun cinta telah kuuraikan dan kujelaskan panjang lebar
namun jika cinta kudatangi aku jadi malu pada keteranganku sendiri


Meskipun lidahku telah mampu menguraikan namun tanpa lidah cinta ternyata lebih terang
sementara pena begitu tergesa-gesa menuliskannya


Kata-kata pecah berkeping-keping begitu sampai kepada cinta
dalam menguraikan cinta akal terbaring tak berdaya
bagaikan keledai terbaring dalam lumpur


Cinta sendirilah yang menerangkan cinta dan percintaan

Sabtu, 04 Juni 2011

Salsabilla - Kirana (Re-Post)

Berikan lelakiku kebahagiaan Ya Allah..
Berikan kesejahteraan dan kedamaian dalam hidupnya, yang tak bisa kuberikan saat ia bersamaku.

Terima kasih Ya Rahmaan...aku pernah dicintai laki-laki sebaik itu...
Terima kasih Ya Rahiim...atas segala perhatian, sorot mata dan kehangatan cintanya selama ini,

Sungguh ia kan selamanya istimewa dihatiku, 

Aku tahu sebenarnya dia baik dan sangat penyayang,
tapi mungkin saat ini tak bisa ia berikan lagi untukku,
dan aku tak sanggup tuk hadapi lagi…

Kalau dia mau aku, dia tahu bagaimana mempertahankanku....
Maafkan aku yang tak kan pernah bisa lagi mendampinginya... 


Ya Dzal Jalaali Wal Ikroom
"…kuatkan hatiku atas hilangnya ia dari takdirku…"
-2 April -

Kamis, 02 Juni 2011

Diingatkan tentang apa yang dulu aku Ingatkan

Seorang teman pernah dengan semangatnya curhat sama saya, biasa tentang cinta. Saya, saat itu, dengan sok bijaknya bilang "mencintalah dengan ikhlas". Sebenarnya diantara kami berdua tidak ada yang tahu pasti bagaimana mencintai dengan ikhlas itu. Sampai-sampai saya coba cari di google, apa sih maksudnya mencintai dengan ikhlas itu? Hasilnya, tidak sempurna bisa saya rangkai dan jelaskan, tapi paling tidak cukup memberikan gambaran.

"Mencintai tanpa pamrih, cukup mencintai saja."

Mungkin kurang tepat, tapi bagi saya ya itu artinya. Waktu itu saya jelaskan kepada teman saya, "tulus, tanpa tuntutan, tanpa kata semoga". Dia, iya saja dengan apa yang saya ungkapkan.

Kondisinya, saat sesi curhat itu terjadi, saya sedang mengagumi seorang lelaki yang sepertinya tengah dekat dengan seorang wanita muslimah, cantik. Dan saya cukup berusaha untuk ikhlas, cukup mengagumi saja. Tanpa tuntutan, tanpa kata semoga. Mungkin karena saya tahu siapa wanitanya, kurang lebih seperti apa hubungan mereka. Tidak ada yang istimewa katanya.

Lama kami disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Mulai menimpa conversation yang pernah terjadi malam itu dengan tema-tema curhatan yang lain di malam-malam selanjutnya. Sepertinya semua berjalan baik-baik saja. Sepertinya tidak ada yang berubah, selain kata ikhlas yang makin lama makin samar.

Memang tidak banyak yang berubah, selain frekuensi interaksi yang lebih intens antara saya dengan lelaki tadi. Dan saat itu tak pernah terdengar kabar lagi tentang wanita muslimah tadi. Kami jadi merasa lebih dekat. Tapi, ternyata itu ujian. Cobaan. Sungguh ALLAH memberi cobaan kepada hamba-NYA dengan berbagai cara. Saya baru sadar ketika dia mulai dijauhkan lagi olehNYA. Meskipun saya belum tahu pasti, dengan siapa, apa hubungannya, baru menebak-nebak sih. Tapi sempat ada rasa marah. Kesal. Kenapa harus dijauhkan?

Kadang jadi sering diam sendiri.
"Kenapa musti marah? Apa salah dia? Malah sepertinya aku yang salah, aku yang bersikap seolah ingin dijauhi."

Makin lama makin banyak pertanyaan, kenapa begini, kenapa begitu, harusnya kan ini bukan yang itu. Ah, memangnya siapa yang mengharuskan. Tersentak, baru saya tersadar.
"Ada yang aku lupakan. Ada yang mulai kutinggalkan. Mencintai dengan ikhlas. Tanpa tuntutan, tanpa keharusan. Sekali lagi, memangnya siapa yang mengharuskan?"

Terlenakan oleh keadaan, kedekatan, saya jadi lupa bagaimana seharusnya saya mencintainya. Dengan ikhlas, tanpa tuntutan. Cukup mencintai saja.

Berat.

Kembali saya belajar ilmu ikhlas. Kembali mempertegas yang pernah samar. Ikhlas.

Ya ALLAH, kuatkan hamba menjalani cobaanMU. Aamiin.

Rabu, 01 Juni 2011

Satu Pintu (Prolog)

Tadinya pintu ini sudah akan kubuka, demi melihat dirimu yang sekian lama terus duduk di depan pintuku. Sampai saat aku mencoba mengintip sebelum aku benar-benar membukanya, ternyata dirimu sedang menatap pintu lain dan sedang berniat melangkah pergi. Aku berbalik menutup pintu rapat-rapat. Rapat-rapat. Mungkin itu sebabnya dirimu tidak pernah mengetuk, meski selama itu. Ada pintu lain yang kau harapkan untuk terbuka.

I won't let u to be priority in my life, when u are just let me be an option in yours.

Tuhan, mengapa Engkau pertemukan bila akhirnya Kau pisahkan, termasuk dengan sebuah rasa?
Ya, mungkin memang ada yang ingin Kau tunjukkan (lagi) dengan memasukkannya kedalam kehidupanku.

Terdiam, mencoba memahami dan mencari arti, angin menerbangkan selembar kertas mengetuk jendelaku. Entah dari mana, entah untuk siapa, kubaca juga isinya :


Antara sebuah kerinduan
yang tersimpul dalam hati
yang manisnya menyentuh jiwa


Ada harap 
pintu hatinya kan terbuka


Rupanya sang hujan menyambut
karena hujan menolak mentari
dan mentari pun memilih tak bersinar
maka tetes air hujan membasahi bumi


Satu pintu hati tlah tertutup
ada sebuah tembok benteng besar nan kokoh 
yang tak mungkin aku masuk kedalamnya


Ada kehendak diatas kehendak diriku
ijinkan aku melepasnya dengan keikhlasan atas-Mu
Engkau yang lebih mengerti apa yang tidak kumengerti


Allah, satu pintu hati tlah tertutup untukku
Namun aku yakin,
Engkau pasti sudah membukakanku pintu lainya


Sebuah pintu hati suci yang kan ku tinggal bersamanya
untuk duniaku, untuk akheratku
yang tanpa perlu aku mengetuk pintu itu ataupun bahkan mendobraknya…

Allah, tuntun aku menuju pintu itu ……

Bagai dialog tanpa kata, seolah inilah jawaban dari seberang. Apa salah jika aku ingin kau mengetuk pintuku? Hanya mengetuk saja. Biar aku tahu kau menunggu di luar. Menungguku. Sudahlah, sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan dialog tanpa kata. Why must we talk in a code when we can talk 'it' together in the porch? 

Ada kehendak diatas kehendak diriku. Kupastikan pintuku kembali tertutup rapat.

(Windita)